HUKUM IIIAA'
(BERSUMPAH TIDAK MENGGAULI ISTRI DALAN JANGKA WAKTU TERTENTU)
لِلَّذِيْنَ يُؤْلُوْنَ مِنْ نِّسَاۤىِٕهِمْ تَرَبُّصُ اَرْبَعَةِ اَشْهُرٍۚ فَاِنْ فَاۤءُوْ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Bagi orang yang meng-ila' istrinya harus menunggu empat bulan. Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.226
وَاِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَاِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.227
Menurut etimologi, ila’ merupakan bentuk masdar dari kata ala-yu’li yang berarti ‘sumpah’. Kemudian, secara historis, seperti halnya zhihar, ila’ merupakan bagian dari talak yang berlaku pada zaman Jahiliyah.
Secara terminologis, ila’ adalah sumpah seorang suami yang memiliki hak talak untuk tidak menggauli istrinya, baik dalam tempo tak terbatas maupun dalam tempo empat bulan. Karena itu, mengenai syarat dan rukun sumpah ila’, berlaku syarat dan rukun sumpah pada umumnya yang menggunakan asma Allah, yaitu:(1) Al-Halif atau orang yang bersumpah;(2) Al-Mahluf bihi (yang dijadikan sumpah), yakni nama Allah; (3). Al-Mahluf ‘alaih atau objek sumpah, yaitu jimak; (4) Muddah atau tempo waktu.
Syekh Zakariya al-Anshari dalam Kitab Fathul Wahab juz II, halaman 109
هُوَ لُغَةً الْحَلِفُ وَكَانَ طَلَاقًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَغَيَّرَ الشَّرْعُ حُكْمَهُ وَخَصَّهُ بِمَا في آية: {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ} فَهُوَ شَرْعًا حَلِفُ زَوْجٍ عَلَى الِامْتِنَاعِ مِنْ وَطْءِ زَوْجَتِهِ مُطْلَقًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَهُوَ حَرَامٌ لِلْإِيذَاءِ
“Secara bahasa, ila’ adalah sumpah. Ia merupakan talak pada zaman Jahiliyah. Lantas, syariat mengubah dan mengkhususkan hukumnya melalui ayat, ‘Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya...’ Secara syariat, ila’ adalah sumpah seorang suami untuk menghalangi dirinya dari menjimak istrinya secara mutlak atau lebih dari tempo empat bulan. Hukumnya adalah haram karena menyakiti istri,”
1. Dalam tempo waktu empat bulan, si suami diberi kesempatan: apakah akan kembali kepada istrinya dan membayar kafarat, atau menalak istrinya.
2. Demikian pula halnya jika setelah empat bulan perkara itu tidak kunjung selesai lalu diadukan oleh sang istri ke pengadilan, maka hakim boleh memutuskan dua perkara. Pertama, suami dituntut menarik sumpah dan kembali kepada istrinya, disertai membayar kafarat sumpah. Kedua, hakim menuntutnya untuk menceraikan istrinya. Hanya saja, jika si suami masih bersikukuh terhadap sumpahnya, maka hakim bisa menjatuhkan putusan talak satu dengan tujuan untuk menghilangkan kemudharatan pada istri. (Mushthafa al-Khin, al-Fiqh al-Manhaji, juz IV, halaman 145).
3. Adapun bentuk kafarat ila’ yang dapat dipilih suami adalah sama dengan kafarat sumpah, yaitu memberi makanan kepada sepuluh orang miskin, memberi pakaian kepada mereka, memerdekakan budak, atau berpuasa selama tiga hari. Kafarat ini bersifat pilihan, sehingga boleh dipilih salah satu sesuai dengan kemampuan.
0 comments:
Posting Komentar